Kumpulan Artikel
MEMBALIK PARADIGMA PENDIDIKAN
Oleh Zaenal Ikhsan,S.Kom
Anggapan bahwa intelektualitas adalah segala-galanya atau setidak-tidaknya
merupakan faktor utama yang akan membawa orang pada kesuksesan dalam
kehidupan karir atau kehidupan nyata di masyarakat, kini terbantah telak
sejak Daniel Goleman menulis buku "Emotional Intelligence: Why
It Can Matter More than IQ" (1995). Buku yang merupakan hasil riset
yang luas ini -- yang kemudian direspon positif oleh sejumlah ilmuwan
yang kemudian melakukan riset lanjutannya -- sungguh sangat menyentak
kesadaran pembacanya. Disebutkan oleh Goleman bahwa ada kecerdasan yang
jauh lebih besar peranannya dibanding kecerdasan akademik atau kecerdasan
intelektual dalam mengantar orang pada kesuksesan hidup, yaitu apa yang
dinamakan kecerdasan emosional (emotional intelligence).
Goleman menunjukkan betapa banyak orang yang pada waktu di sekolah atau
kuliah tergolong pintar, menduduki rangking-akademik atas, namun terbukti
gagal dalam kehidupan karirnya. Banyak pula orang yang di sekolah biasa-biasa
saja capaian akademiknya, terbukti sukses dalam karir, menjadi orang
berprestasi dan berguna bagi masyarakat. Orang yang cerdas secara intelektual
namun bodoh secara emosional, dalam kehidupan kerjanya mungkin akan
menjadi orang kritis yang hobinya pamer kepintaran dan menjatuhkan orang
lewat kritisismenya, arogan, atau mudah tersinggung, gampang marah,
mudah runtuh motivasinya ketika menghadapi kesulitan kerja, sulit bekerja-sama,
dan sejumlah perilaku negatif lainnya. Alhasil orang demikian akan berkontribusi
rendah, bahkan mungkin negatif dalam bekerjasama, dan akan menuai rentetan
kegagalan.
Kecerdasan intelektual memang penting, karena dengan itu orang secara
kognitif dapat menganalisis persoalan yang dihadapi secara logis, sistematis,
dan sekaligus mampu menemukan konsepsi pemecahan masalah secara kreatif.
Namun bagaimana mengimplementasikan pemikiran kognitifnya itu di lapangan
sosial, orang membutuhkan kecerdasan emosional. Emotional Intelligence
adalah suatu kemampuan untuk memahami dan mengelola emosi diri dan emosi
orang lain, ketika seseorang berhubungan dengan diri sendiri (intrapersonal
relationship) maupun ketika berhubungan dengan orang lain (interpersonal
relationship).
Orang pintar yang jahat
Betapapun pentingnya kecerdasan intelektual maupun emosional bagi kesuksesan
seseorang, kita tidak boleh berhenti di situ. Apalah artinya orang yang
pintar secara intelektual maupun emosional, tetapi jeblok secara spiritual.
Orang ini mungkin akan menjadi orang yang berpengetahuan luas, kritis,
kreatif, selalu bergairah, ramah, pandai menyenangkan dan meyakinkan
orang, trampil bergaul, dan seterusnya, namun tega hatinya berbuat curang:
menipu, berbohong, berkhianat, memfitnah, menjarah hak orang lain, bertindak
korup, dan seterusnya. Dan karena dia pintar secara intelektual, maka
kejahatannya itu dapat dilakukan dengan cara yang canggih sehingga sulit
terlacak atau terbongkar karena pintarnya menghapus jejak, membungkus
dan membentengi perbuatannya. Demikian pula karena dia cerdas secara
emosional maka dia trampil dalam mengelola emosi-dirinya (self-regulation)
sehingga kendati berbuat culas, dia mampu tampil tenang, penuh senyum
meyakinkan, bahkan sukses pula merekayasa kesan diri sebagai orang baik,
benar, penolong dan sebagainya. Pendeknya, orang ini bak musang berbulu
domba: pandai bersandiwara dan akan menghalalkan segala cara demi kepentingannya.
Sungguh, ia akan menjadi orang yang sangat berbahaya bagi kehidupan
bersama. Moralitas-spiritualitas rendah bangsa kita inilah yang ditengarai
menjadi sumber dari krisis multi-dimensional yang kini masih membelit
bangsa dan negara kita. Makin sukses orang-orang ini menduduki jabatan-jabatan
dan peran strategisnya, makin ganas korupsi dan kecurangannya.
Kecerdasan spiritual mutlak diperlukan
Di atas kecerdasan intelektual dan kecerdasan emosional, mutlak diperlukan
kecerdasan spiritual, yakni kemampuan orang untuk membedakan kebajikan
dan keburukan, dan kesanggupan untuk memilih atau berpihak pada kebajikan,
serta dapat merasakan nikmatnya berbuat bajik. Orang dengan kecerdasan
spiritual tinggi akan merasakan kenikmatan spiritual tiada tara tatkala
ia sanggup berbuat jujur, lurus, adil, meskipun akibatnya secara material
atau secara “duniawi” mungkin ia harus menanggung kerugian.
Dengan senantiasa menghidupkan hati nurani, menghadirkan Tuhan dalam
kesadaran jiwa dan menjadikan Tuhan sebagai pusat orientasi semua tindakan,
orang akan terbebas dari kepalsuan-kepalsuan hidup.
Kecerdasan intelektual dan emosional membawa orang pada kesuksesan.
Kecerdasan spiritual membawa orang pada kebajikan. Yang kita inginkan
adalah menjadi orang sukses yang baik. Tetapi ada ungkapan "It's
nice to be important, but it's more important to be nice": baik
juga kalau bisa menjadi orang penting atau sukses, tetapi lebih penting
menjadi orang baik
Membalik skala prioritas-paradigmatik
Dengan demikian jelaslah bahwa seharusnya urutan prioritas dalam pengasahan
kemampuan manusiawi (human capability) dalam pendidikan adalah pencerdasan
spiritualitas sebagai yang utama, yang kedua pencerdasan emosionalitas,
dan yang ketiga pencerdasan intelektualitas. Ketiganya penting, namun
urutan nilai kepentingannya haruslah seperti itu, tidak terbalik seperti
dalam praktik pendidikan kita.
Sayang sekali, selama ini ketika orang berbicara tentang upaya peningkatan
moralitas atau spiritualitas siswa di sekolah, orang langsung menyebut
tentang perlunya penambahan jam pelajaran agama, pemberian pelajaran
budi pekerti, atau dulu penataran P-4. Cara-cara demikian sesungguhnya
sangat tidak mencukupi untuk pencerdasan spiritualitas siswa. Penambahan
pelajaran agama dan budi pekerti, paling jauh hanya menambah pengetahuan
siswa tentang mana yang baik dan mana yang buruk. Dus, hanya masuk di
ranah kognitif, yang hanya berguna untuk menjawab soal ulangan atau
ujian. Namun untuk menjadikan pengetahuan moral tersebut masuk dan mengeram
di ranah afektif dan menjadi bagian dari kepribadian siswa, diperlukan
perubahan pola kependidikan yang bukan sekedar superfisial seperti itu,
melainkan paradigmatik sifatnya. Harus diwaspadai pula, bahwa pengajaran
agama yang salah penanganan bisa membawa siswa pada fanatisme sempit
dan arogansi religius yang justru menjauhkan siswa dari spiritualitas.
Ada sejumlah hal yang harus dikerjakan oleh sistem persekolahan kita
kalau benar-benar ingin menciptakan manusia Indonesia yang berkualitas
secara spiritual, emosional, maupun intelektual.
Pertama, sekolah harus menegaskan misinya untuk mengasah ketiga aspek
human capability utama peserta didik, yaitu kecerdasan spiritual sebagai
top priority, kecerdasan emosional sebagai second priority, dan kecerdasan
intelektual sebagai third priority.
Kedua, misi tersebut harus benar-benar dijadikan dasar dan semangat
dari setiap kebijakan, peraturan, program, maupun perilaku keseharian
institusional sekolah. Kejujuran, misalnya harus benar-benar ditegakkan
dalam semua proses akademik maupun seluruh proses manajemen persekolahan.
Ketiga, setiap guru, bidang studi apapun, sungguh-sungguh menginsyafi
dan berkomitmen penuh bahwa kehadirannya di sekolah, tampilnya di kelas,
adalah sebagai guru dalam spiritualitas, emosionalitas, dan intelektualitas
sekaligus. Perhatian setiap guru atas murid-muridnya haruslah yang pertama
pada kinerja spiritual mereka, yang kedua pada kinerja emosional mereka,
dan barulah yang ketiga pada kinerja intelektual atau penguasaan akademik
siswa. Ketiganya dikerjakan dengan kualitas yang harus terus ditingkatkan.
Guru harus menjadi teladan, contoh yang nyata untuk ketiga kecerdasan
itu.. Dia tidak akan menganggap bahwa moralitas-spiritualitas adalah
urusan guru agama atau guru budi pekerti, dan emosionalitas adalah urusan
guru bimbingan konseling semata. Sebagai guru Fisika, misalnya, ia akan
berkata pada murid-muridnya: "Anak-anak, meskipun saya adalah guru
mata pelajaran Fisika, tetapi tugas saya adalah mencerdaskan spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas
kalian sekaligus. Saya sungguh bahagia kalau kalian memiliki jiwa yang
mulia, berbudi pekerti luhur, senantiasa ingat dan bersyukur pada Tuhan
sehingga kalian menjadi manusia yang baik. Saya juga sungguh bahagia
kalau kalian memiliki emosi yang sehat-positif yang akan membawa kalian
pada kesuksesan hidup di masyarakat. Saya juga akan bahagia jika kalian
bisa menguasai dengan baik mata pelajaran saya yaitu Fisika karena hal
itu akan membantu mencerdaskan intelektualitas kalian. Saya akan mengolah,
mencermati, dan mengevaluasi kinerja ketiga aspek penting kemampuan
manusiawi kalian itu…."
Keempat, setiap mata pelajaran didesain sedemikian rupa sehingga bermuatan
pencerdasan spiritual, emosional, dan intelektual sekaligus.
Kelima, sekolah harus menjadi tempat pergaulan sosial yang nyata-nyata
membiasakan atau membudayakan nilai-nilai cerdas spiritual, cerdas emosional,
dan cerdas intelektual. Sikap dan perilaku serta hubungan antar dan
inter guru, murid, dan karyawan haruslah terasa sungguh-sungguh mencerahkan
spiritualitas-emosionalitas-intelektualitas semua sivitas akademika
sekolah.
Keenam, kesemuanya ini haruslah dikerjakan dengan teknik-teknik yang
segar, kreatif, menggembirakan, dan berkualitas, sehingga ketiga sasaran
pencerdasan itu dapat dicapai secara efektif.
Jika spiritualitas murid berhasil dijernihkan sehingga pikiran-pikiran
negatif-destruktif jauh tereliminasi, demikian pula emosionalitas mereka
tercerahkan penuh motivasi positif, maka dengan sendirinya energi mental
siswa akan mudah terfokus pada pencapaian prestasi akademik. Akhirnya,
belajar dan mencapai prestasi akademik pun -- meskipun diletakkan pada
third priority -- menjadi terasa mudah dan menyenangkan.